Jumlah total investor crypto di Indonesia telah mencapai 16,1 juta. Sedangkan transaksi selama Januari-Agustus tercatat Rp 249,3 triliun, turun 56,35% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Pendiri dan CEO Bitocto Milken Jonathan menilai, penurunan nilai transaksi aset kripto merupakan imbas dari situasi ekonomi global. Sejumlah negara diperkirakan akan mengalami resesi dan ada tantangan geopolitik dari perang Rusia-Ukraina.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed mempengaruhi likuiditas berbagai aset.
Kemudian, secara mikro, salah satu penyebab turunnya transaksi aset kripto adalah tarif pajak di Indonesia. Sementara itu, beberapa bursa global mengenakan biaya trading yang cenderung murah atau gratis untuk pair tertentu.
“Dengan adanya tarif pajak, tentu akan menyulitkan bursa lokal untuk bersaing dan bisa menyebabkan capital outflow karena kecenderungan bertransaksi di bursa luar negeri,” kata Milken dalam siaran persnya, Rabu (26/10).
Dengan demikian, menurut dia, pemerintah bisa mempertimbangkan terlebih dahulu beberapa regulasi untuk dilonggarkan di tengah situasi ekonomi makro saat ini.
Anggota Kehormatan Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) sekaligus Dosen Telkom University Andry Alamsyah menambahkan, situasi bear market merupakan situasi yang berulang dan sudah terjadi. Untuk industri kripto, menurut dia, proyek yang ada bisa fokus pada fungsi dasar di tengah situasi ini.
“Jika situasi pulih, produk/layanan yang ditawarkan proyek lebih valid dan matang. Keberkahan dalam kondisi bear market ini dapat dimanfaatkan oleh para pengembang aset kripto untuk penelitian lebih dalam guna menghasilkan keluaran produk dengan fundamental yang lebih baik,” kata Andry.
Sementara itu, Ketua ABI Asih Karnengsih mengatakan kondisi pasar yang bearish menuntut pelaku usaha di industri ini untuk fokus pada kegiatan yang dapat memperkuat ekosistem industri di tingkat nasional. Karena Indonesia dinilai memiliki potensi besar.